Minggu, 13 Desember 2009

REOG PONOROGO

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur yang daerahnya terdiri dari Ponorogo, yang dianggap sebagai kota asal Reog sebenarnya. Boleh jadi, Reog Ponorogo adalah salah satu kesenian tradisional yang cepat beradaptasi dan cepat pula digemari.
Reog Ponorogo mungkin telah menghipnotis masyarakat di mana masing-masing daerah mempunyai paguyuban reog itu berada. Sehingga, menurut HT Yulianto yang bertindak sebagai Ketua Paguyuban Reog Ponorogo wilayah Jabodetabek, grup-grup reog di Jakarta dan sekitarnya kini memiliki anggota dari berbagai etnis. Maka janganlah heran, jika kesenian yang dibawa para “pengembara” dari tanah Jawa ke berbagai belahan dunia ini di negeri Jiran kesenian tersebut juga cepat berkembang. Cuma sayang disayang, entah karena gelap mata atau kepingin “menggoda” sentimen kebangsaan kita, Malaysia secara sepihak mengklaim bahwa reog berasal dari Malaysia.


Kontroversi ini bermula saat tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan “Malaysia” dan diaku sebagai warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Sejarah Reog Ponorogo
Pada dasarnya sejarah Reog Ponorogo ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, Warok diterjemahkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang “menguasai ilmu” (ngelmu) dalam pengertian Kejawen (Kepercayaan yang dianut di Pulau Jawa).
Warok sendiri sudah ada sejak jaman Wengker Kuno, sejak keruntuhan kerajaan Medang, muncul kerjaan baruseperti kerajaan Wengker di G. Lawu dan G. Wilis yang didirikan oleh raja Ketut Wijaya yang terkenal hidup sebagai Rahib Buddha, yang mendapat respon dari rakyat pengikutnya. Untuk punggawa dan pengawal kerajaan diambil dari pemuda-pemuda dan para warok atau pendekar-pendekar sakti. Ketika tahun 1035 Kerajaan Wengker kemudian dikuasai oleh Airlangga dan diubah menjadi Kahuripan. Namun para Warok sebagian tetap melanjutkan kehidupannya sucinya, sebagian menjadi penguasa lokal yang dipercaya raja untuk mengendalikan wilayah kerajaan.
Eksistensi Warok berlanjut ketika masa akhir Majapahit thn1450, ketika itu sang prabu Brawijaya V mempercayakan ki Demang Suryongalam (kerabat prabu yang juga pemimpin warok) untuk menjadi penguasa bekas kerajaan Wengker. Dan para warok dihimpun untuk digembleng menjadi perwira tangguh. Momentum inilah, yang sering dikatakan sebagai cikal bakal eksistensi warok tahap kedua. Para warok lebih eksis lagi setelah Bethara Katong ( keturunan Raja Brawijaya terakhir yg beraagam Islam, yang hidup keluar dari kerajaan ) mengambil alih kekuasaan Ki Demang Suryangalam. Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bethara Katong. Bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus, datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar. Kemudian satu persatu bangunan dan infrastrukturnya didirikan, maka penduduk pun berdatangan . Setelah menjadi kadipaten Bethara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri. Sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga. Akhirnya, dikenal dengan nama Ponorogo. Dan memberi kedudukan yang istimewa pada para warok. Katong tahu, warok-warok itu punya kultur Hindu Buddha. Namun mereka sangat dipercaya masyarakatnya. Sementara Katong sendiri beragama Islam. Maka, terjadilah akulturasi budaya yang cantik antara Hindu Buddha dan Islam. Sejak Bethara Katong itulah posisi warok sangat istimewa di kalangan masyarakat.
Namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Yang bercerita tentang Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari rekan raja yang beretnis Cina dalam pemerintahan dan perilaku raja yang korup, Ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Kemudian Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan yang mengajarkan seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan kepada anak-anak muda, dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan kembali Kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan “sindiran” kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog, Kepopuleran Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya. Pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dengan ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya.
Dan cerita lain Reog juga ada, yaitu Tarian Reog Singa Barong sebagai seni mulai muncul ketika pada thn 1400-an ketika itu Dadak Merak dimaksudkan untuk menyindir Raja Brawijaya V, yang lebih terpengaruh oleh permaisurinya. Ini digambarkan pada Dadak Merak (Singo Barong), bahwa Kepala Macan/Singo barong simbolisasi laki-laki diatasnya adalah Burung Merak sebagai simbolisasi wanita, Artinya Lelaki yang dibawah wanita. Konon waktu itu para penari reog sebenarnya adalah sekumpulan pendekar-pendekar (bekas pasukan khusus Majapahit) yang kecewa terhadap junjungannya yang berniat memberontak. Akhirnya diredam oleh para petinggi kerajaan yang sangat berpengaruh dengan dialihkan menjadi suatu bentuk perkumpulan kesenian.

Sebenarnya adanya Singo barong sendiri itu sudah sejak abad 6, pada waktu jaman Hindu Buddha, dan terus mengalami perubahan sesuai perkembangan budaya yang dibawa masing-masing kerajaan jawa kuno waktu itu. Hingga pada saat Bathara katong (salah satu keturunan Brawijaya terakhir) yang beragama Islam turut memberi warna dalam reog.
Urutan Prosesi Reog Ponorogo
Dalam pertunjukan Reog dari sisi penampilan, kesenian ini memang menjanjikan kemegahan. Dua dadak merak yang menjadi ikon kesenian ini, adalah jaminan mutu penonton terpesona. Konon, berat dadak merak ini sekira 50 kg.
Dan ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai “Singa Barong”, raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan di atasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggang kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50 kg hanya dengan menggunakan giginya.

Pada pertunjukan reog dari sisi bunyi, kesenian reog jelas menawarkan keriuhan. Para pengiring yang menabuh berbagai alat musik tradisi seperti terompet, gendang, kempul, saron, dan lain-lain ini bisa mencapai 20 orang. Musik terdiri dari ketuk, kempul, genggam, kenong, ketipung, angklung, dan salompret bergaung menyajikan nada salendro dan pelog. Nada –nada yang dibawakan bernuansakan mistis, apalagi ditambah aroma menyan. Kemudian wajah-wajah sangar berpakaian hitam bertali kolor putih melilit dipinggang, menari sambil berteriak-teriak yang dikenal sebagai Warok, mengitari pertunjukan. Lalu Singo barongpun muncul, penari mengangkat Barongan seberat 40-50 kg dengan digigit, menunjukkan kekuatan supranatural ada pada penarinya.
Satu group Reog biasanya terdiri dari seorang : Warok Tua, beberapa Warok Muda, Pembarong (penari singa barong/ dadak merak) dan Penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono.Dan beberapa penari pengiring lainya, sehingga jumlah satu grup antara 20 hingga 30-an orang, Sentral dari sebuah grup Reog adalah adalah Para Warok dan Pembarongnya (penari singo barong/dadak merak). Menjadi Warok tidaklah gampang, ia harus mampu menjalani penempaan fisik dan bathin. Tingkatan ilmu warok adalah mulai tingkat ilmu kanuragan sampai tingkat ilmu kebathinan. Warok muda biasanya baru menguasai ilmu kanuragan : yakni mengolah kekuatan fisik dengan berbagai laku tertentu seperti silat, pernafasan, puasa dan tirakat .Sebagai tanda ia menjadi warok ia mempunyai senjata andalan berupa tali kolor putih yangbesar (biasa dililitkan dipinggang) yang mempunyai daya kekuatan. Konon jaman dahulu ketika dua warok adu kesaktian dengan saling mencambukkan kolornya ke tubuh lawannya. Barang siapa yang berhasil menjatuhkan lawan dengan kolornya maka dia sebagai pemenang. Padahal tali kolor tersebut jika disabetkan ke batu besar, akan pecah berkeping-keping.
Sedang warok tua, ilmunya sudah mumpuni, artinya sudah mengolah bathin, sampai pada pengertian tentang filsafat kehidupan, yang sudah tidak mengandalkan kekuatan fisik/ kanuragan. Warok tua lebih arif, bijak dan menjadi tokoh sentral atau “orang tua” didaerahnya masing-masing yang disegani baik oleh penduduk maupun Warok Muda. Warok sepuh di Ponorogo yang masih hidup saat ini Mbah Wo Kucing di Sumoroto ; Mbah Kamituwo Welut (90), dan Mbah Senen Kakuk (83) , Mbah Petil (85) , dan Mbaj Tobroni (70) Mbah Bikan Gondowiyono (60 thnan), Mbah Legong (60than) yang jarang muncul, seperti Mbah Benjot (70).
Seiring berjalannya zaman, Reog mengalami perkembangan. Pementasan Seni Reog kini lebih modern lagi biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari Jaran Kepang yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari Kuda Lumping.
Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar, Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.
Adegan terakhir adalah Singa Barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasa dan tapa.
Makna Prosesi Reog Ponorogo
Ada berbgai macam makna yang dapat diambil dari bagian Tari Reog Ponorogo ini, contohnya adalah,
- Berdasarkan kejadian purba (asal usul masyarakat atau padi memberikan petunjuk bagaimana manusia harus berkelakuan sesuai dengan peraturan).
- Pemanggil Kekuatan Ghaib.
- Menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya pertunjukkan.
- Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat.
- Peringatan pada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun kepahlawannya.
- Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup seseorang.
- Pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu.
- Memperlihatkan keindahan dan kekhasan dari sisi penampilan yang menjanjikan kemegahan.
- Nilai-nilai kultural dan kebijaksanaan local yang visualisasinya nampak dalam simbol-simbol tarian.
- Reog Ponorogo merupakan salah satu kesenian warisan budaya dan nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia untuk menghayati kehidupan ini secara penuh.©


0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 indonesia